Hal ini disambut baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Karena dinilai bisa memberi efek jera.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar mengatakan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat merusak masa depan Indonesia. Karena itu, pelaku harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia.
“Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan,” kata Nahar, Senin (4/1/2021).
Nahar menuturkan, dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sementara, tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.
“Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia,” tutur dia.
Selain itu, menurut dia, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia. Namun, lanjut Nahar, harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.
“Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik,” kata Nahar.