Dosen University of Sydney, Thomas Power, menemukan bahwa demokrasi semakin turun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Thomas memaparkan ada empat hal yang menjadi indikator penilaian sebuah negara demokratis. Yakni pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas, serta oposisi tidak resmi dan ada kesempatan untuk berunjuk rasa.
“Kalau kita lihat di masa Jokowi, terjadi pelemahan yang cukup pelan tetapi terus terjadi di sekitar indikator,” ujar Thomas melalui diskusi daring pada Ahad, 24 Oktober 2021.
Thomas menjelaskan, pada indikator pemilu dan oposisi resmi, Indonesia kini nyaris tidak memiliki partai yang mewakili rakyat. Partai dikuasai oleh kepentingan elit sehingga sistem kepartaian menjadi tidak representatif.
Menurut Thomas, hampir semua partai politik lebih mengutamakan jatah kabinet daripada menjaga sikap politik yang sesuai dengan keinginan konstituennya. “Syarat pencalonan presiden semakin sempit dan eksklusif, sehingga hanya dua pasangan calon yang mampu berpartisipasi pada pemilu 2014 dan 2019,” kata dia.
Selain itu, dua pasangan calon yang bertarung pada 2019, yakni Jokowi vs Prabowo Subianto, cenderung antidemokratik.
Lalu pada indikator penegakan hukum dan lembaga yudisial, kata Thomas, politisasi aparat penegak hukum semakin terlihat dalam lima tahun terakhir terutama di kepolisian dan kejaksaan. “Perlindungan dari perkara hukum menjadi salah satu bentuk patronase yang paling sering efektif bagi pihak penguasa.” ucap dia.
Yang terbaru adanya serangan fisik dan kriminalisasi, narasi taliban, revisi UU KPK, hingga polemik tes wawasan kebangsaan (TWK). Menurut Thomas, hal itu menjadi upaya-upaya untuk menghapus independensi lembaga hukum dan lembaga yudisial.
Indikator ketiga yakni meida yang bebas dan berkualitas juga mengalami penurunan. Thomas menemukan, media di Indonesai saat ini, kepemilikannya semakin didominasi oleh pihak yang terlibat aktif di pemerintahan. Di sisi lain, media yang mengkritisi pemerintah terancam dilaporkan, atau bahkan dipolisikan.
Selanjutnya, indikator terakhir yaitu oposisi tidak resmi dan aksi unjuk rasa, Thomas melihat menjelang pemilu 2019 lalu, pemerintah mulai membatasi dan membubarkan kegiatan kelompok opisisi.
“Contoh adalah ketika munculnya kelompok #2019GantiPresiden,” kata Thomas. Ia meilai, tindakan tersebut disebut sebagai upaya melawan radikalisme.
Namun, aksi penolakan dan pembubaran paksa terhadap kelompok oposisi sebelum pemilu 2019, di mana sikap itu menjadi modal untuk medeletigimasi aksi protes paskapemilu. Sebut saja seperti aksi protes RUU KPK, KUHP, dan Omnibus Law.
Pun dalam proses aksi unjuk rasa itu, kebebasan berekspresi semakin terancam. Sebab, demonstrasi dibubarkan secara paksa dan para demonstran menghadapi kekerasan aparat.
“Kita bisa lihat bahwa terjadi penuruan di semua indikator. Maka kami berkesimpulan dengan upaya melemahkan demokrasi dari atas, Indonesia sedang mengalami krisis atas kualitas demokrasi,” kata Thomas.